DAMPAK LABELLING
PROPOSAL
PENELITIAN SOSIAL
DAMPAK
LABELLING TERHADAP KONDISI PSIKOLOGIS MASYARAKAT DI KOTA TANGERANG
·
HILMI
HISYAM F .
KELAS :
X-IPS.3
DEPARTEMEN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SEKOLAH
MENENGAH ATAS NEGERI 2 TANGERANG
Jalan
Taman Makam Pahlawan Taruna Telp. (021) 5524912 Tangerang, Banten
Tahun
Ajaran 2016/2017
_______________________________________________________________________________
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur atas kehadirat Allah SWT. Karena, dengan rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Ibu Sofa Almarwah selaku guru
bidang studi Sosiologi kami. Tugas ini kami terima dengan senang hati, karna
dengan adanya tugas ini kami menjadi tahu apa arti dari “Labelling” dan
bagaimana dampaknya bagi psikologis seseorang. Selain itu kami memilih topik
ini juga karena kami ingin menyampaikan bahwa labelling/pengecapan itu tidak
baik jika pemberi label salah menyampaikannya.
Kamipun turut berterima kasih kepada :
1. Allah
SWT.
2. Kedua
orang tua kami yang selalu mendukung kegiatan-kegiatan kami
3. Ibu
Sofa Almarwah selaku guru Sosiologi kami
4. Para
Blogger yang sudah memposting materi yang bisa menjadi referensi bagi proposal
penelitian sosial kami
Mohon
maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan baik itu susunan kata, kalimat
yang sulit dipahami nalar, dan lain sebagainya. Kami disini masih terus belajar
dan terus mencoba untuk memberikan hasil yang lebih baik lagi.
Tangerang, Mei 2017
Penulis
_______________________________________________________________________________
DAFTAR
ISI
COVER
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
1.2
Perumusan Masalah
1.3
Pembatasan Masalah
1.4
Manfaat dan Tujuan Penelitian
1.5
Metode Penelitian
BAB
II LANDASAN TEORI
2.1
Teori Labelling
2.2
Teori Asosiasi Diferensial
2.3
Teori Nilai dan Norma Sosial
2.4
Teori Tabula Rasa
2.5
Teori Cermin Diri
BAB
III PEMBAHASAN
3.1
Proses Terjadinya Labelling
3.2
Usia Yang Dapat Terpengaruh oleh Proses Labelling
3.3
Dampak Dari Labelling
3.4
Cara Mengatasi Labelling
3.5
Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Prilaku Menyimpang
BAB
IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR
ISI
_________________________________________________________________________________
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Labeling adalah
identitas yang diberikan oleh kelompok kepada individu berdasarkan ciri-ciri
yang dianggap minoritas oleh suatu kelompok masyarakat. Labeling cenderung
diberikan pada orang yang memiliki penyimpangan perilaku yang tidak sesuai
dengan norma di masyarakat. Seseorang yang diberi label akan mengalami
perubahan peranan dan cenderung akan berlaku seperti label yang diberikan
kepadanya (Sujono, 1994).
Banyak dari kita yang tidak tahu apa itu
labeling, padahal hal ini secara tidak sadar pernah kita lakukan baik kepada
anak kecil, teman sebaya, maupun orang yang lebih tua yang kita anggap mereka sudah memiliki
perilaku yang menyimpang. Ketidaktahuan ini yang akan menjadi bahaya, apalagi
masalah labeling ini yang bisa saja membuat si korban/deviant akan ter-labelled
padahal sebelumnya dia tidak seperti apa yang orang lain katakan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka
dapat disusun rumusan masalah yang akan kami bahas pada proposal penelitian
sosial kali ini, diantaranya adalah :
1. Bagaimana
penjulukan/labelling itu bisa terjadi?
2. Kapan
seseorang dapat dipengaruhi
pikirannya untuk dijuluki/cap?
3. Bagaimana
dampak dari labelling terhadap keadaan psikologis orang-orang di Kota Tangerang?
4. Bagaimana
cara mengatasi labelling?
5. Apa
faktor yang menyebabkan warga Kota Tangerang dapat memiliki penyimpangan prilaku
sehingga menimbulkan masyarakat untuk melakukan penjulukan?
1.3
Pembatasan Masalah
1. Proses
terjadinya “Labelling”
2. Usia
yang dapat terpengaruh oleh proses “Labelling”
3. Dampak
dari “Labelling”
4. Cara
mengatasi “Labelling”
5. Faktor
yang menyebabkan terjadinya perilaku menyimpang
1.4
Manfaat dan Tujuan Penelitian
1. Manfaat
a. Menambah
pengetahuan pembaca mengenai dampak apabila seseorang mendapat “Labelling”
b. Menberikan
informasi bagaimana menyampaikan pendapat apabila ingin melabeli orang yang menurutnya
telah memiliki prilaku menyimpang
c. Menambah
karya tulis diperpustakaan sekolah
2. Tujuan
a.
Untuk menjelaskan bagaimana cara
melabeli orang dengan tepat
b.
Untuk menambah wawasan pembaca mengenai
“Labelling”
1.5
Metode Penelitian
Pada penelitian kali ini kami
menggunakan Metode Analisis Media Massa, yaitu penelitian yang menggunakan
media cetak seperti majalah, koran, artikel dan lain sebagainya.
_____________________________________________________________________________
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Teori Labelling
Teori ini memperkirakan bahwa pelaksanaan kontrol
sosial menyebabkan penyimpangan, sebab pelaksanaan kontrol sosial tersebut
mendorong orang masuk ke dalam peran penyimpang. Ditutupnya peran konvensional
bagi seseorang dengan pemberian stigma dan label, menyebabkan orang tersebut
dapat menjadi penyimpang sekunder, khususnya dalam mempertahankan diri dari
pemberian label. Untuk masuk kembali ke dalam peran sosial konvensional yang
tidak menyimpang adalah berbahaya dan individu merasa teralienasi. Menurut
teori labeling, pemberian sanksi dan label yang dimaksudkan untuk mengontrol
penyimpangan malah menghasilkan sebaliknya.
Munculnya
Teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur atau
menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak
negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku
kejahatan.
Konsep
teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan
mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh
dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah
dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Schrag (1971)
memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut:
a. Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan
sendirinya bersifat kriminal.
b. Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat
dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan.
c. Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia
melanggar undang-undang, melainkan karena ia ditetapkan demikan oleh penguasa.
d. Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang
dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal dan non-kriminal.
e. Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses
labeling.
f. Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam
system peradilan pidanan adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan dari
karakteristik pelanggarannya.
g. Usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan
karateristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengabilan
keputusan dalam system peradilan pidana.
h. Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan
perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap
mereka yang dipandang sebagai penjahat.
i. Labeling merupakan suatu proses yang akan
melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant (orang yang menyimpang)
dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector” (penolakan dari
penolakan) (dikutip dari Hagan, 1989: p. 453-454)
Sedangkan,
Edwin Lemert (1950) memberikan perbedaan
mengenai konsep teori labeling ini, yaitu primary deviance dan secondary
deviance. Primary deviance ditujukan kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku
awal. Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan dengan reorganisasi psikologis
dari pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari perbuatan yang telah
dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga
menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan
Lemert penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut
sulit melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah
laku sesuai dengan label yang diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai
pelaku penyimpangan/penjahat).
2.2
Teori
Asosiasi Diferensial
Differential
Association dikemukkan pertama kali oleh Edwin H Suterland pada tahun 1934
dalam bukunya Principle of Criminology. Sutherland dalam teori ini berpendapat
bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan
sosial. Artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara.
Karena itu, perbedaan tingkah laku yang conform dengan kriminal adalah bertolak
ukur pada apa dan bagaimana sesuatu itu dipelajari.
Teori ini dipengaruhi oleh tiga
teori lain yaitu : ecological and culture transmission theory, symbolic
interactionism, and culture conflict theory. Dari pengaruh-pengaruh tersebut
dapat disimpulkan bahwa munculnya teori diferensiasi ini didasarkan pada :
a. Setiap
orang akan menerima dan mengakui pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan;
b. Kegagalan
untuk mengikuti pola tingkah laku dapat menimbulkan inkonsistensi dan
ketidakharmonisan;
c. Konflik
budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.
Teori asosiasi diferensial ini
memiliki 2 versi. Versi pertama dikemukakan tahun 1939 lebih menekankan pada
konflik budaya dan disorganisasi sosial serta asosiasi diferensial. Dalam versi
pertama, Sutherland mendefinisikan asosiasi diferensial sebagai “the contents
of pattern presented in association would differ from individual to individual”
(isi atau konten yang disajikan dari sebuah asosiasi akan berbeda dari satu
individu ke individu lain). Hal ini tidak berarti bahwa hanya kelompok
pergaulan dengan penjahat akan menyebabkan seseorang berprilaku kriminal..
Yang terpenting adalah isi dari
proses komunikasi dengan orang lain. Hal ini jelas menerangkan bahwa kejahatan
atau perilaku jahat itu timbul karena komunikasi dengan orang lain yang jahat
pula. Pada tahun 1947, Sutherland memaparkan versi kedua nya yang lebih
menekankan pada semua tingkah laku dapat dipelajari dan mengganti istilah
social disorganization dengan differential social organization. Teori ini
menentang bahwa tidak ada tingkah laku jahat yang diturunkan dari kedua orangtuanya.
Pola perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui suatu pergaulan
yang akrab.
2.3
Teori Nilai
dan Norma Sosial
1. Definisi Nilai Sosial
Nilai
sosial adalah ukuran- ukuran, patokan-patokan, anggapan-anggapan,
keyakinan-keyakinan, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat serta dianut
oleh banyak orang dalam lingkungan masyarakat mengenai apa yang benar, pantas,
luhur, dan baik untuk dilakukan. Nilai-nilai sosial merupakan aktualisasi dari
kehendak masyarakat mengenai segala sesuatu yang dianggap benar dan baik. Pada
intinya, adanya nilai sosial dalam masyarakat bersumber pada tiga hal yaitu
dari Tuhan, masyarakat, dan individu.
2. Tolak Ukur
Setiap
masyarakat mempunyai nilai yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan setiap
masyarakat mempunyai tolok ukur nilai yang berbeda-beda pula. Selain itu,
perbedaan cara pandang masyarakat terhadap nilai mendorong munculnya perbedaan
nilai. Suatu nilai dapat tetap dipertahankan apabila nilai tersebut mempunyai
daya guna fungsional, artinya mempunyai kebermanfaatan bagi kehidupan
masyarakat itu sendiri,
3. Jenis-Jenis Nilai Sosial
Menurut
Prof. Dr. Notonegoro, secara umum nilai dapat dibedakan kedalam tiga macam,
yaitu nilai vital, material dan kerohanian. Nilai material yaitu segala sesuatu
yang berguna bagi fisik manusia. Misalnya makanan dan minuman. Nilai vital
artinya segala sesuatu yang berguna untuk mengadakan kegiatan atau aktivitas.
Contohnya sabit yang digunakan petani dan pisau yang menjadi alat kerja seorang
juru masak. Nilai kerohanian yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani
manusia. Berdasarkan sumbernya, nilai kerohanian dapat dibagi lagi menjadi
empat jenis yaitu:
a. Nilai kebenaran, bersumber dari
akal manusia (cipta);
b. Nilai keindahan atau estetika,
bersumber dari unsur rasa manusia (estetika);
c. Nilai moral atau kebaikan,
bersumber dari kehendak manusia (karsa);
d. Nilai religius, bersumber pada
ke-Tuhanan.
4. Ciri-ciri Nilai Sosial
a) Tidak semua hal yang baik di
mata masyarakat dapat dianggap sebagai nilai sosial.
b) Merupakan hasil interaksi
antaranggota masyarakat.
c) Ditularkan di antara
anggota-anggota masyarakat melalui pergaulan.
d) Terbentuk melalui proses belajar
yang panjang melalui sosialisasi.
e) Nilai sebagai alat pemuas
kebutuhan sosial.
f) Nilai berbeda-beda antara
kebudayaan yang satu dengan yang lain.
g) Mempunyai efek yang berbeda
terhadap individu.
h) Memengaruhi perkembangan pribadi
dalam masyarakat baik positif maupun negatif.
5. Definisi Norma Sosial
Manusia
tidak pernah lepas dari peraturan. Di mana pun dan kapan pun di sekeliling kita
terdapat aturan yang membatasi perilaku manusia. Norma Sosial adalah patokan
perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Fungsinya adalah untuk memberi
batasan berupa perintah atau larangan dalam berperilaku, memaksa individu untuk
menyesuaikan diri dengan nilai yang berlaku di masyarakat dan menjaga
solidaritas antaranggota masyarakat. Oleh karena fungsi-fungsi tersebut, maka
sosialisasi norma memiliki peran yang penting dalam mewujudkan ketertiban
sosial.
Berdasarkan daya pengikatnya, norma
dibedakan menjadi empat.
a) Cara (usage) merupakan norma
yang daya pengikatnya sangat lemah.
b) Kebiasaan (folkways) ialah
aturan yang daya pengikatnya lebih kuat dari usage.
c) Tata kelakuan (mores) ialah aturan
yang telah diterima masyarakat dan biasanya berhubungan dengan sistem
kepercayaan atau keyakinan.
d) Adat istiadat (custom) merupakan
aturan yang memiliki sanksi keras terhadap pelanggarnya, berupa penolakan atau
pengadilan.
6. Macam-macam
Norma Sosial
a) Norma Agama
b) Norma Kesusilaan (Mores)
c) Norma Adat
d) Norma Kebiasaan
e) Norma Kesopanan
f) Norma Hukum
2.4 Teori Tabula
Rasa
Teori Tabula rasa (dari bahasa Latin
kertas kosong) merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir
tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain "kosong", dan seluruh
sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan
persepsi alat inderanya terhadap dunia di luar dirinya.
Umumnya para pendukung pandangan tabula rasa
akan melihat bahwa pengalamanlah yang berpengaruh terhadap kepribadian,
perilaku sosial dan emosional, serta kecerdasan.
Gagasan
mengenai teori ini banyak dipengaruhi oleh pendapat John Locke pada abad 17.
Dalam filosofi Locke, tabula rasa adalah teori bahwa pikiran (manusia) ketika
lahir berupa "kertas kosong" tanpa aturan untuk memroses data, dan
data yang ditambahkan serta aturan untuk memrosesnya dibentuk hanya oleh
pengalaman alat inderanya. Pendapat ini merupakan inti dari empirisme Lockean.
Anggapan Locke, tabula rasa berarti bahwa pikiran individu "kosong"
saat lahir, dan juga ditekankan tentang kebebasan individu untuk mengisi
jiwanya sendiri. Setiap individu bebas mendefinisikan isi dari karakternya -
namun identitas dasarnya sebagai umat manusia tidak bisa ditukar. Dari asumsi
tentang jiwa yang bebas dan ditentukan sendiri serta dikombinasikan dengan
kodrat manusia inilah lahir doktrin Lockean tentang apa yang disebut alami.
2.5 Teori Cermin Diri
Teori
Cermin Diri (The Looking Glass Self) ini dikemukakan oleh Charles H. Cooley.
Teori ini merupakan gambaran bahwa seseorang hanya bisa berkembang dengan
bantuan orang lain. Ada tiga langkah dalam proses pembentukan cermin diri.
1.
Imajinasi tentang pandangan orang
lain terhadap diri seseorang, seperti bagaimana pakaian atau tingkah lakunya di
mata orang lain.
2.
Imajinasi terhadap penilaian orang
lain tentang apa yang terdapat pada diri masing-masing orang. Misalnya, pakaian
yang dipakai.
3.
Perasaan seseorang tentang
penilaian-penilaian itu, seperti bangga, kecewa, gembira, atau rendah diri.
Tapi di teori
ini terdapat kelemahannya,yaitu Pertama, pandangan Cooley dinilai lebih cocok
untuk memahami kelompok tertentu saja di dalam masyarakat yang memang berbeda
dengan kelompok-kelompok lainnya. Kedua, teori ini dianggap terlalu sederhana.
Cooley tidak menjelaskan tentang suatu kepribadian dewasa yang bisa menilai
tingkah laku orang lain dan juga dirinya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Proses
Terjadinya Labelling
Proses
labelling bisa terjadi kapan saja, oleh siapa saja, dan dilingkungan masyarakat
mana saja, jika si deviant dianggap oleh masyarakat sekitar telah memiliki perilaku
yang menyimpang.
Menurut
Lemert, pada awalnya seseorang tidak lantas menjadi menyimpang karena label
yang diberikan kepadanya. Ada proses penyimpangan lain yang mendahuluinya
sebelum itu. Lemert mengidentifikasi penyimpangan dimulai dengan terjadi
penyimpangan primer. Penyimpangan primer merupakan penyimpangan yang dilakukan
secara sadar oleh seseorang. Misalnya mencuri. Saat seseorang tertangkap
mencuri, maka masyarakat mulai memberikan cap kepadanya sebagai
"pencuri." Boleh jadi waktu pertama mencuri, dia melakukannya karena
terpaksa dan tindakan itu sebetulnya bertentangan dengan hati nuraninya. Namun
ketika masyarakat terus memberikannya label sebagai pencuri, maka dia mulai
melakukan penyimpangan sekunder, yakni dia merasa bahwa "pencuri"
merupakan jati dirinya yang sebenarnya. Sejak label diberikan, seseorang yang
terpengaruh oleh proses labeling itu akan menganut gaya hidup menyimpang
seperti yang diberikan oleh masyarakat kepadanya
3.2 Umur Yang Dapat Terpengaruh Oleh Proses
Labelling
Kapan yang dimaksud disini adalah
pada umur berapa seseorang dapat terpengaruhi pikirannya oleh penjulukan yang dilakukan
masyarakat.
Pertama,
biasanya anak dapat mengerti apa yang diataan orang lain ketika Ia berusia
kira-kira 2-3 tahun, pada saat ini anak bisa saja mendapat penjulukan dari
orang lain. misalnya, dia mempunyai seorang adik dan dia menjahilinya. Lalu,
orang tuanya menyebut/melabelinya sebagai anak nakal. Maka, jika hal ini terus
dibiasakan anakpun mudah mencap dirinya juga sebagai seorang anak yang nakal
dan besarnyapun anak bisa saja menjadi anak yang nakal jika dia juga mendapat
pelabelan yang sama dari masyarakaat.
Kedua,
pada masa remaja. Masa dimana seseorang mulai mencari jati diri yang
sebenarnya. Jika seseorang terus mendapatkan pelabelan dari masyarakat, dia
bisa saja tumbuh menjadi pribadi seperti apa yang dikatakan masyarakat. Karna
prinsip dari pelabelan itu sendiri adalah semakin sering dan semakin banyak
orang yang memberikan label kepadanya, orang atau kelompok tersebut akan
menyerupai bahkan dapat menjelma menjadi label yang diberikan kepadanya.
Ketiga,
orang dewasa. Bukan hal yang tidak mungkin sebuah batu akan terus bertahan
dibawah derasnya air terjun, lama kelamaan pasti batu itu akan hancur. Begitu
pula kepribadian orang sudah bisa dibilang matang apabila terus dilabeli oleh
masyarakat.
3.3 Dampak Dari Labelling
Dalam teori labeling ada satu
pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi
label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian
akan menjadi devian”. Dalam buku Raising A Happy Child, banyak ahli yang
setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan
menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Orang yang
memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan
memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan
terpenuhi. Sementara orang yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai
akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan
tetap saja tidak berprestasi.
Bagi
banyak orang (termasuk anak-anak) pengalaman mendapatkan label tertentu
(terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran
bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh penolakan yang sesungguhnya,
dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan
berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan
kehidupan kerjanya. Penting bagi anak untuk merasa bahwa dirinya berharga
dan dicintai. Perasaan ini diketemukan olehnya lewat respon orang-orang
sekitarnya, terutama orang terdekat yaitu orang tua. Kalau respon orangtua
positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya sebagai
orangtua, tidak dapat menahan diri sehingga memberikan respon-respon negatif
seputar perilaku anak. Walaupun sesungguhnya orangtua tidak bermaksud buruk
dengan respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan orangtua
dan bagaimana orangtua bertindak, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan
berpengaruh dalam kehidupannya.
Adapun contoh labelling dan akibatnya. Antara lain :
1.
Labelling Di Sekolah-sekolah di Kota
Tangerang
o
Siswa yang selalu dicap sebagai Perokok
Aktif, Pemalas, Anak Nakal, dan lain sebagainya.
Dampaknya : Siswa akan menjadi semakin menjadi
seperti apa yang lingkungan sosialnya katakan, mengguncang psikologis siswa,
terblokirnya mental (Mental Block) siswa untuk berkembang, malas berangkat
sekolah, terputus sekolah, menjadi kriminal, dan lain-lain
2.
Labelling di Keluarga
o
Anak yang dicap sebagai anak yang rajin,
suka membantu orang tua, cerdas dan lain sebagainya.
Dampaknya : Si Anak akan terpengaruh untuk menjadi
apa yang dikatakan oleh anggota keluarganya, Membuat anak menjadi semakin
rajin, berprestasi di sekolah dan lain sebagainya.
3.
Labelling di Masyarakat Kota Tangerang
o
Seseorang dikatakan sebagai orang yang
berakhlak buruk, memiliki penyimpangan seksual dan lain-lain.
Dampaknya : Mematikan semangat hidup seseorang,
menjadi kriminal, menyebabkan seseorang untuk bunuh diri, minder, takut bertemu
dengan orang-orang, dan lain sebagainya.
3.4 Cara Mengatasi Labelling
Cara mengatasinya yaitu :
B 1. Pemberi
label berespon secara spesifik terhadap perilaku anak, dan bukan
kepribadiannya. Kalau anak bertindak sesuatu yang tidak berkenan di hati,
jangan berespon dengan memberikan label, karena melabel berarti menunjuk pada
kepribadian anak, seperti sesuatu yang terberi dan tidak bisa lagi diperbaiki.
2. Datang ke psikolog untuk melaksanakan terapi
3. Memperkuat kepribadian dan kepercayaan diri
4. Selalu berpikir positif dan belajar memahami diri sendiri
5. Mendekatkan diri kepada Tuhan Y.M.E.
6. Bergaul dengan orang-orang yang baik jika ingin dicap baik
7. Membaca buku motivasi jika sudah terlanjur terlabel
2. Datang ke psikolog untuk melaksanakan terapi
3. Memperkuat kepribadian dan kepercayaan diri
4. Selalu berpikir positif dan belajar memahami diri sendiri
5. Mendekatkan diri kepada Tuhan Y.M.E.
6. Bergaul dengan orang-orang yang baik jika ingin dicap baik
7. Membaca buku motivasi jika sudah terlanjur terlabel
3.5 Faktor Yang
Menyebabkan Terjadinya Prilaku Menyimpang
1. Sikap
mental yang tidak sehat
suatu
sikap tidak merasa bersalah/ menyesal atas perbuatannya yang menurut masyarakat
dianggap menyimpang. Contoh : profesi pelacur, maklar kasus, renternir, dll.
2. Ketidakharmonisan
dalam rumah tangga
disharmonisasi
dalam keluarga seperti Broken Home, salah satu anggota keluarga ada yang
meninggal, dll.
3. Pelampiasan
rasa kecewa
kegagalan
terhadap suatu yang diinginkan dapat menyebabkan perilaku menyimpang sebagai
bentuk pelarian masalah. Contoh : narkoba, bunuh diri
4. Dorongan
kebutuhan ekonomi
kemiskinan
dan ketidakpuasan terhadap apa yang dimiliki mendorong orang untuk menyimpang
seperti mencuri, merampok, atau melacurkan diri.
5. Pengaruh
lingkungan dan media massa
Teman
sepermainan, pergaulan, media cetak dan elektronik mempengaruhi perilaku dan
tindakan individu.
6. Keinginan
untuk dipuji
Gaya
hidup glamor, sok kaya, sok modern menyebabkan orang cenderung menyimpang
seperti korupsi, merampok, dan menjual diri.
7. Proses
belajar menyimpang
Interaksi
dengan orang lainyang menyimpang akan mempengaruhi pikiran dan kepribadin untuk
cenderung menyimpang seperti penggunaan obat, genk motor, dan merokok.
8. Ketidaksanggupan
menyerap nilai dan norma
Ketidaksanggupan
menyerap norma ke dalam kepribadian seseorang disebabkan menjalani proses
sosialisasi yang salah/ tidak sempurna sehingga tidak sanggup menjalankan peran
yang dikehendaki masyarakat.
9. Adanya
ikatan sosial yang berlainan
Identifikasi
diri dengan kelompok mempengaruhi kepribadian. Jika kelompok yang digauli
menyimpang kecenderungan menyimpang lebih besar
10. Proses
sosialisasi sub kebudayaan menyimpang
Suatu
kebudayaan khusus yang normanya bertentangan dengan norma budaya yang dominan.
Perilaku individu dipengaruhi oleh nilai sub kebudayaan masyarakat seperti
tempat tinggal dilingkungan kumuh, dekat dengan kompleks pelacuran
11. Kegagalan
dalam proses sosialisasi
Keluarga
inti maupun keluarga luas bertanggung jawab terhadap penanaman nilai dan norma
pada anak. Kegagalan proses pendidikan dalam keluarga menyebabkan terjadinya
penyimpangan.
BAB 4
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Labelling
tidak selamanya berdampak buruk, apabila pemberi label jelas/ memberi rincian
apa kesalahan si devian dan tidak selalu melabeli devian. Hal ini akan memberikan
kesempatan korban untuk mengatasi kesalahannya. Dan pelabelan juga tidak selalu
mengenai hal negatif ada juga pelabelan yang positif, misalnya pelabelan
“percaya diri” maka dia akan tersugesti untuk menjadi seseorang yang percaya
diri.
4.2 Saran
Dengan
adanya proposal ini kami sebagai penulis berharap agar dapat menjaga proposal
ini dengan baik, agar dapat selalu digunakan oleh yang lainnya. Dan kami harap
para pembaca semua dapat melabeli orang dengan tepat jika memang orang itu
harus dilabeli dan memang untuk kebaikannya juga.
DAFTAR PUSTAKA
6.
Buku Cetak Sosiologi Kelas X Kurikulum 2013
10.
http://www.kompasiana.com/robbymilana/labeling-penyimpangan-yang-diciptakan_585a1ad12123bddf1dcfd066
Komentar
Posting Komentar