Impor Besi dan Baja Tinggi, BUMN Ini Ikut Krisis

Tingginya kebutuhan akan besi dan baja membuat tingginya permintaan besi dan baja pula. Tidak hanya dari perusahaan pada sektor infrastruktur, otomotif, dan bahkan industry elektronik yang memang membutuhkan besi atau baja sebagai bahan untuk produksinya, bahkan besi dan baja ringan atau yang memiliki unsur karbon yang cukup tinggi sering kita gunakan atau temui di dalam kehidupan sehari – hari. Misalnya, besi yang biasa digunakan untuk peralatan dapur, kunci rumah atau aksesoris dan untuk peralatan yang terbuat dari baja juga sering kita temui, contoh alatnya seperti gergaji yang terbuat dari baja yang memiliki kandungan karbon yang tinggi yaitu sekitar 0.7 – 1.5 %, barang yang terbuat dari baja lunak juga sering kita lihat dalam kehidupan sehari – hari seperti baut, mur, dan lain sebagainya. Namun sayangnya, tingginya permintaan besi dan baja di Indonesia tidak beriringan dengan canggihnya teknologi yang dimiliki, masih belum efisien, sehingga produksinya masih lamban dan bahkan menurut data yang saya dapatkan dari CNBC Indonesia konsumsi besi dan baja yang selalu mengalami peningkatan selama 4 tahun terakhir ini hanya bisa dipenuhi sekitar 50 %-nya saja oleh produsen dari dalam negeri. Hal ini membuat Indonesia harus mengimpor produk besi dan baja dari luar, dan menurut data dari finance.detik.com, pada tahun 2018 kemarin barang setengah jadi untuk besi dan baja ini masuk urutan ketiga sebagai komoditas yang paling banyak di impor -nilainya sebesar US$ 10,24 miliar atau 6,45% dari total impor. Tidak hanya barang setengah jadinya tetapi barang jadi seperti elektronik dan sparepart otomotif juga berada pada urutan ke tujuh -nilainya sebesar US$ 3,88 miliar atau 2,45% dari total impor. 

Di Indonesia sendiri untuk perusahaan pabrik yang bergerak pada bidang produksi besi dan baja terdapat sekitar 214 perusahaan menurut data dari The Indonesian Iron & Steel Association. Dan perusahaan pabrik Baja itu baru bisa memasok sekitar 7,87 juta ton baja dari total konsumsi sekitar 13,6 juta ton pada tahun 2017 silam dan pada tahun 2018, berdasarkan data Kemenperin, kebutuhan baja nasional diperkirakan mencapai 14 juta ton per tahun. Dari jumlah ini 9 juta ton telah diproduksi di dalam negeri. Terdapat 5 juta ton produksi yang dipenuhi melalui impor. Rata-rata produk yang diimpor merupakan jenis baja yang tidak diproduksi di dalam negeri.

Kecenderungan peningkatan konsumsi besi dan baja di Indonesia selalu diupayakan agar dapat mengurangi beban impor yang Indonesia lakukan, dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas teknologi yang ada. Sayangnya, pada proses peningkatan efisiensi produksi besi dan baja ini terdapat proyek blast furnace oleh PT. Krakatau Steel (Persero), Tbk. yang persiapan operasinya dimulai sejak 2011 dan telah dilakukan peletakan batu refraktori pertama coke oven plant pada 8 Januari 2015 dan ditargetkan selesai pada September 2015. Namun, semua itu hanya perkiraan semata, hingga saat ini proyek tersebut masih belum beroperasi, bahkan untuk tahap feasibility study saja masih diperdebatkan oleh pihak internal KRAS. 

Sejatinya proyek pembangunan pabrik Blast Furnace diinisiasi perusahaan untuk membantu menurunkan biaya produksi, terutama konsumsi energi listrik dan biaya bahan baku pembuatan baja (steelmaking). Untuk diketahui saat ini KRAS masih mengimpor seluruh kebutuhan bahan baku iron ore pellet (bijih besi). Kontrak pembangunan komplek pabrik dengan sistem Blast Furnace diteken pada tanggal 15 November 2011 dengan konsorsium kontraktor lokal PT Krakatau Engineering (PT KE) dan kontraktor luar, yaitu Capital Engineering and Research Incorporation Limited (MCC-CERI). Total biaya kontrak yang ditandatangani sebesar US$ 334,9 juta untuk MCC-CERI dan Rp 1,81 triliun untuk PT KE. Jadi jika ditotal biayanya mencapai RP 6,5 triliun (asumsi RP 14.000/US$). Sebagai informasi Blast Furnace atau biasa juga disebut dengan tanur tiup digunakan untuk mereduksi secara kimia dan mengkonversi secara fisik bijih besi yang padat. Proyek pembangunan Blast Furnace Complex (BFC) KRAS mencakup Sintering Plant, Coke Oven Plant, Blast Furnace dan Hot Metal Treatment Plant dengan kapasitas produksi 1,2 juta metrik ton hot metal dan pig iron per tahun. Awalnya, pabrik Blast Furnace ditargetkan beroperasi di tahun 2015, namun baru di tahun 2019 pabrik selesai dibangun, itu pun belum dapat beroperasi secara komersial. Keterlambatan pengoperasian telah banyak menimbulkan kerugian materil bagi perusahaan. Belum lagi potensi kerugian yang dapat diakibatkan dari kurang efisiennya pengoperasian pabrik tersebut. Selama 7 tahun terakhir ini hutang yang di miliki oleh KRAS ditaksir sekitar Rp. 30 Miliar, jika berjalan lancer sama saja seperti membuat 5 proyek blast furnace ya. Hal ini yang membuat Komisaris Independen KRAS yaitu Roy Maningkas telah mengajukan surat permohonan pengunduran diri dari jabatannya di perusahaan baja tersebut. Surat tersebut sudah disampaikan sejak 11 Juli 2019 lalu. 

Roy menyebutkan, dewan komisaris sudah berkali-kali memberikan surat kepada direksi PT KS dan kementerian BUMN yang isinya adalah mengingatkan dan bahkan meminta pertimbangan seluruh pihak termasuk kepada Kementerian BUMN terkait proyek Blast Furnace ini, yaitu: 

1. Bahwa keterlambatan penyelesaian Project Blast Furnace yang sudah mencapai 72 bulan. 
2. Harga Pokok Produksi (HPP) slab yang dihasilkan Project Blast Furnace lebih mahal US$ 82/ton jika dibanding harga pasar. Jika produksi 1,1 juta ton per tahun, potensi kerugian PT Krakatau Steel sekitar Rp 1,3 triliun per tahun. 
3. "Dipaksakannya" beroperasi Blast Furnace hanya untuk dua bulan kemudian akan dimatikan dengan alasan jangan sampai menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Klaim dari kontraktor Blast Furnace dari MCC CERI (Capital Engineering and Research Incorporation Limited), padahal bahan baku hanya tersedia dua bulan. Kontraktor sendiri bersamasama dengan PT KS sudah 3 kali melakukan amandemen untuk penguluran waktu. 
4. Dewan Komisaris sudah meminta berkali-kali agar dilakukan audit bisnis maupun audit teknologi untuk mengetahui keandalan, keamanan, dan efisiensi Project Blast Furnace ini. Hingga saat ini tidak dilakukan. 
5. Tidak adanya kepastian siapa-siapa yang bertanggung jawab terhadap proyek ini, baik tanggung jawab teknis maupun kerugian keuangan. Pernyataan tanggung jawab hanya dibuat oleh level manager dari kontraktor. 

Pihak oposisi atas keberlanjutannya proyek blast furnace ini tidak hanya disampaikan oleh Roy Maningkas tetapi juga dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Akibat merugi selama tujuh tahun dan punya hutang hingga Rp30 triliun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) harus menghentikan proyek blast furnace. Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan Acshanul Qosasi menilai proyek pabrik baja dengan teknologi blast furnace lebih baik dihentikan karena adanya pemborosan. 

Namun, Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) Silmy Karim menyatakan proyek pabrik baja dengan teknologi blast furnace harus dilanjutkan. Proyek pabrik baja berbasis teknologi blast furnace ini sudah diinisiasi 10 tahun lalu, namun sampai saat ini belum terealisasi. Silmy bilang perlu dicari solusi-solusi dan difilter nantinya sehingga akan mendapatkan solusi terbaik. Dia menegaskan perlu adanya performance test, itu akan kelihatan apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study (FS, studi kelayakan) atau tidak. Menurut dia, alangkah lebih baik jika yang membuktikan ketidaklayakan proyek itu dari hasil tes dilakukan oleh pihak ketiga sehingga bisa ditarik justifikasi apakah memang benar proyek itu dilanjutkan atau ada opsi untuk menyetop proyek itu. 

"Buat kita manajemen baru tak ada beban masa lalu di KRAS, dilanjutkan atau disetop proyek ini adalah bagian dari suatu proses, yang terpenting proyek ini selesai," tegas mantan CEO Barata Indonesia ini. "Kalau mangkrak [proyek Blast Furnace] akan lebih parah, mengenai 3 bulan operasi atau 1 tahun operasi, itu berdasarkan pengujian tes, realibilty-nya bagaimana. Udah gitu oh ternyata mahal tak sesuai FS, karena naiknya harga gas, lalu investasi membengkak, lalu dicari solusinya, setop atau dikasi penambahan sistem, karena ini masih masih sistem lama."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ASAL USUL NAMA BATU CEPER

DAMPAK LABELLING

Ranking 40an dikelas, Bisa Lolos SNMPTN Universitas Brawijaya!